Rabu, 26 Desember 2012

BENTUK DAN UKURAN FAKTUR PAJAK


Pengertian Faktur Pajak

Pembahasan akan saya mulai dengan pengertian yang sangat mendasar tentang Faktur Pajak.  Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) . Jika pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima JKP  sama selama 1 (satu) bulan kalender, maka PKP dapat membuat Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima JKP  yang sama selama 1 (satu) bulan kalender tersebut yang disebut sebagai Faktur Pajak Gabungan.

Saat Pembuatan Faktur Pajak

Faktur Pajak harus dibuat pada : 
a.    saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau JKP ;
b.    saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan JKP ;
c.    saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
d.    saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; atau
e.    saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Sementara Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP .

Sanksi jika terlambat menerbitkan Faktur Pajak

PKP yang menerbitkan Faktur Pajak setelah melewati batas waktu diatas sampai dengan 3 bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. Dan ini yang lebih fatal akibatnya, yaitu jika PKP menerbitkan Faktur Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak, sehingga PKP Pembeli BKP atau Penerima JKP  yang menerima Faktur Pajak tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN  yang tercantum di dalamnya sebagai Pajak Masukan.

Bentuk dan Ukuran Faktur Pajak



Menurut Pasal 3 Per-24/PJ/2012, bentuk dan ukuran Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan PKP. Jadi tidak tidak ditentukan dengan ukuran misalnya sekian cm x cm. Bisa dibuat besar atau kecil sesuai selera dari PKP. Yang penting adalah content yang ada di dalamnya minimal harus memuat hal-hal seperti yang tertuang dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan PPnBM (terakhir UU No. 42 Tahun 2009) yaitu :
a.      nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b.      nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c.      jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d.      Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e.      Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f.           kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g.      nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.


Contoh Faktur Pajak adalah sebagai berikut :

                                                                                  Lembar ke 1 : untuk Pembeli BKP/Penerima JKP
                                                                                  sebagai bukti Pajak Masukan

FAKTUR PAJAK


Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak :
Pengusaha Kena Pajak
Nama
Alamat
NPWP
:
:
:
Pembeli Barang Kena Pajak / Penerima Jasa Kena Pajak
Nama
Alamat
NPWP
:
:
:
No.
Urut
Nama Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak
Harga Jual/Penggantian/
Uang Muka/Termin
(Rp)















Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin *)

Dikurangi Potongan Harga

Dikurangi Uang Muka yang telah diterima

Dasar Pengenaan Pajak

PPN = 10% X Dasar Pengenaan Pajak


 Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

  Tarif
DPP
PPnBM

 ............%
 ............%
 ............%
 ............%
Rp...................
Rp...................
Rp...................
Rp...................
Rp...................
Rp...................
Rp...................
Rp...................
..................tgl...............

.....................................
Nama
 Jumlah

Rp...................



*) Coret yang tidak perlu

Apabila penyerahan dilakukan dengan menggunakan mata uang asing, maka kolom Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dipecah menjadi 2 dengan judul sub kolom mata uang asing dan rupiah secara berdampingan dan pada bagian bawah faktur dicantumkan keterangan nilai tukar kurs  berdasarkan KMK Nomor dan Tanggal berapa.

Karena PKP diberikan keleluasaan dalam menentukan bentuk dan ukuran Faktur Pajak, maka pengadaannya pun diserahkan ke PKP. PKP bisa beli di pasaran atau mencetak sendiri. Sekali lagi yang penting harus memuat informasi atau keterangan minimal di atas.

Faktur Pajak paling sedikit dibuat dalam 2 (dua) rangkap yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut : 
a.    Lembar ke-1, disampaikan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
b.    Lembar ke-2, untuk arsip PKP yang menerbitkan Faktur Pajak.
Dalam hal Faktur Pajak dibuat lebih dari 2 rangkap maka harus dinyatakan secara jelas peruntukannya dalam lembar Faktur Pajak yang bersangkutan.

Rabu, 19 Desember 2012

AGAR TIDAK TERLAMBAT MEMBAYAR DAN MELAPORKAN PAJAK


Suatu saat ada Wajib Pajak (WP) tergopoh-gopoh datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan muka sedih bercampur marah. Selama ini dia merasa sudah merasa benar melakukan kewajiban pajaknya, tetapi ada sebuah surat bernama Surat Tagihan Pajak (STP) mampir ke rumahnya. Surat itu mengatakan kalau dia harus bayar tagihan pajak sekian ribu rupiah. Dia kemudian diterima Account Representative (AR) dan bercerita tentang kasus yang dialaminya. Panjang lebar cerita yang disampaikan dan AR menyimak dengan seksama. Ternyata oh ternyata dia terlambat menyampaikan SPT PPh Orang Pribadi karena memang tidak tahu kapan batas waktu penyampaian SPT sehingga oleh KPP dikenakan sanksi berupa denda. Kasus semacam ini ternyata sangat lazim dijumpai di seluruh KPP di Indonesia. Akibat ketidaktahuan terhadap sesuatu harus dibayar dengan mengeluarkan biaya dan tentunya tenaga ekstra untuk membayar biaya tersebut. 

Nah agar kita tidak mengalami kasus seperti ini nanti kami sampaikan batas waktu pembayaran, penyetoran, dan pelaporan pajak. Adapun dasarnya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang PENENTUAN TANGGAL JATUH TEMPO PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK, PENENTUAN TEMPAT PEMBAYARAN PAJAK, DAN TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK, SERTA TATA CARA PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK sebagaimana telah dirubah dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010.

            Di PMK ini menggunakan kata-kata pembayaran dan penyetoran. Sekilas memang artinya sama. Dan esensinya pun sama yaitu sama-sama mengeluarkan uang untuk pajak. Di PMK tidak dijelaskan apa beda dari kedua kata tersebut. Menurut penafsiran kami kata “pembayaran” digunakan untuk pengeluarkan uang pajak dari kantong sendiri. Kata ini digunakan untuk jenis pajak PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 15 yang dibayar sendiri. Sementara kata “penyetoran” digunakan untuk pengeluaran uang pajak hasil pemotongan atau pemungutan dari pihak lain. Misalkan kita sebagai pemberi kerja yang membayar gaji kepada karyawan. Ketika kita sudah memotong PPh atas gaji tersebut kita wajib “menyetorkan” bukan “membayarkan” ke kas negara. Kata “penyetoran” ini digunakan untuk jenis pajak selain PPh Pasal 25 dan PPh pasal 15 yang dibayar sendiri.

DIMANA KITA BISA MEMBAYAR PAJAK ?

Di masyarakat sering kita dengar kalau mau bayar pajak ya ke kantor pajak. Bahkan media pun kadang latah ikut melakukan pemberitaan seperti itu yang yang sebenarnya sangat menyesatkan masyarakat umum. Sekedar meluruskan hal tersebut bahwa seluruh pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan di kantor pos atau bank persepsi atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, bukan ke Kantor Pelayanan Pajak. Sangat banyak kita jumpai bank persepsi baik di kota besar maupun kota-kota kecil di Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak.
Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak (SSP). SSP atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud dianggap sah  apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Pajak (NTPN).

DIMANA KITA MELAPORKAN PAJAK?

Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan, baik yang melakukan pembayaran pajak tersendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong/Pemungut PPh atau Pemungut PPN, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar.

Setelah membayar pajak kita masih memiliki kewajiban yaitu melaporkan pajak tersebut. Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak tersendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh atau Pemungut PPN wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) ke KPP terdaftar. SPT sendiri ada yang berupa SPT Masa dan SPT Tahunan. Semua formulir perpajakan baik SSP maupun SPT bisa kita dapatkan di KPP atau KP2KP terdekat secara gratis.


BATAS WAKTU PEMBAYARAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK

Agar memudahkan kita kapan harus membayar atau menyetor, dan melaporkan   pajak, berikut kami susun matriksnya.


SPT TAHUNAN

NO.
JENIS PAJAK
BATAS WAKTU
PEMBAYARAN/PENYETORAN
PELAPORAN SPT
1
SPT PPh Orang Pribadi
Sebelum SPT disampaikan
3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak
2
SPT PPh Badan
4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak


SPT MASA

NO.
JENIS PAJAK
BATAS WAKTU
PEMBAYARAN/PENYETORAN
PELAPORAN SPT
1
PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong
Tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
  berakhir.
2
PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong
3
PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong
4
PPh Pasal 23/26 yang dipotong oleh Pemotong
5
PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
6
PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai
  Pemungut Pajak
7
PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat  Pemberitahuan Masa,
Pada akhir Masa Pajak terakhir.
8
Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa,
Sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.
9
PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh WP
Tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
10
PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri
11
PPh Pasal 25
12
PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri
Akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
13
PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
14
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah
15
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai
  Pemungut PPN
Tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
  berakhir.
16
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak
Akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan
17
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor
Bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor
-
18
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea
  dan Cukai
Harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan  pajak.
Pada hari kerja terakhir minggu berikutnya.
19
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara
Harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau  belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan
ditandatangani oleh bendahara.
14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir
20
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat
  Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN
Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor  Pelayanan Perbendaharaan Negara.
-

Bagaimana jika tanggal jatuh tempo tersebut bertepatan dengan hari libur? Dalam Pasal 3 Ayat (1) Permenkeu No.184/PMK.03/2007,disebutkan : “Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan padahari kerja berikutnya.               Hari libur nasional sebagaimana dimaksud termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional.”
Lalu bagaimana jika batas akhir pelaporan tersebut bertepatan dengan hari libur? Dalam Pasal 8 Ayat (2) Permenkeu No.184/PMK.03/2007,disebutkan “Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional sebagaimana dimaksud termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Demikian mudah-mudahan bermanfaat dan yang penting jangan sampai kita tidak mengetahui ataupun lalai dalam membayar ataupun melaporkan pajak sehingga nantinya akan merugikan diri sendiri.

Rabu, 12 Desember 2012

INILAH PTKP 2013 !


Pemerintah melalui Kementerian Keuangan baru-baru ini telah menerbitkan aturan terkait dengan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri atau biasa disingkat dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Peraturan ini lahir setelah Menteri Keuangan mengadakan konsultasi dengan DPR pada tanggal tanggal 30 Mei 2012 dan 15 Oktober 2012. Peraturan terbaru yang dikeluarkan tersebut adalah PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 162/PMK.011/2012 tentang PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK tanggal 22 Oktober 2012. Peraturan ini sendiri akan diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2013.
Berdasarkan ketentuan tersebut, besarnya penghasilan tidak kena pajak disesuaikan menjadi sebagai berikut:
a.    Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah)untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b.    Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c.    Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; .
d.    Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Yang perlu diperhatikan adalah :
  1. Bagi pemberi kerja sebagai pemotong PPh Pasal 21, PTKP tersebut mulai diterapkan atas penghasilan Bulan Januari 2013. Maksimal PTKP yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai oleh pemberi kerja adalah sebesar Rp 32.400.000,- (pegawai dengan status K/3).
  2. Bagi WP Orang Pribadi yang akan melaporkan SPT PPh Orang Pribadi Tahun 2012 (jatuh tempo paling lambat 31 Maret 2013), PTKP yang digunakan masih menggunakan PTKP 2009 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7  Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lihat Grafis dibawah : PTKP 2009). Barulah nanti pada SPT PPh Orang Pribadi Tahun 2013 yang dilaporkan paling lambat tanggal 31 Maret 2014, WP OP menggunakan PTKP sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 diatas. Jumlah maksimal PTKP yang boleh dikurangkan oleh Orang Pribadi adalah sebesar Rp 56.700.000,- yaitu untuk WP Kawin dan penghasilan istri digabung dan memiliki tanggungan 3 orang (K/I/3).
Untuk melengkapi dan memudahkan jumlah PTKP yang boleh dikurangkan, berikut kami sampaikan Daftar PTKP dari masa ke masa.

Daftar PTKP  s.d. Tahun 2013
Keterangan
 Status
 Sebelum
 Tahun 2005
 Tahun 2006
Tahun 2009
Tahun 2013
Penyesuaian
WP tidak Kawin dan tidak memiliki Tanggungan
TK/0
2.880.000
12.000.000
13.200.000
15.840.000
24.300.000
WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 1 Orang
TK/1
4.320.000
13.200.000
14.400.000
17.160.000
26.325.000
WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 2 Orang
TK/2
5.760.000
14.400.000
15.600.000
18.480.000
28.350.000
WP tidak Kawin dan memiliki Tanggungan 3 Orang
TK/3
7.200.000
15.600.000
16.800.000
19.800.000
30.375.000
WP Kawin, Penghasilan Istri Dipisah dan tidak memiliki Tanggungan
K/0
4.320.000
13.200.000
14.400.000
17.160.000
26.325.000
WP Kawin, Penghasilan Istri Dipisah dan memiliki Tanggungan 1 Orang
K/l
5.760.000
14.400.000
15.600.000
18.480.000
28.350.000
WP Kawin, Penghasilan Istri Dipisah dan memiliki Tanggungan 2 Orang
K/2
7.200.000
15.600.000
16.800.000
19.800.000
30.375.000
WP Kawin, Penghasilan Istri Dipisah dan memiliki Tanggungan 3 Orang
K/3
8.640.000
16.800.000
18.000.000
21.120.000
32.400.000
WP Kawin, Penghasilan Istri Digabung dan tidak memiliki Tanggungan
K/I/0
7.200.000
25.200.000
27.600.000
33.000.000
50.625.000
WP Kawin, Penghasilan Istri Digabung dan memiliki Tanggungan 1 Orang
K/I/1
8.640.000
26.400.000
28.800.000
34.320.000
52.650.000
WP Kawin, Penghasilan Istri Digabung dan memiliki Tanggungan 2 Orang
K/I/2
10.080.000
27.600.000
30.000.000
35.640.000
54.675.000
WP Kawin, Penghasilan Istri Digabung dan memiliki Tanggungan 3 Orang
K/I/3
11.520.000
28.800.000
31.200.000
36.960.000
56.700.000